Minggu, 21 Maret 2010

Dampak Kehadiran Anak Autistik Dalam Keluarga

Kahadiaran anak autistik di tengah-tengah keluarga akan mempengaruhi pada kehidupan keluarga, khususnya pada aspek psikologis orang tua yang selanjautnya mempengaruhi hubungan suami istri dan anggota keluarga lainnya, termasuk di dalamnya adalah saudara kandung. Berdasarkan pengalaman penulis selam 12 tahun sebagai praktisi dalam memberikan layanan konseling (konsultasi) dan bimbingan bagi orang tua serta intervensi dini anak autistik, kehadiaran anak autistik menunjukkan dampak yang bervariasi bagi keluarga. Dampak yang ditimbulkan seperti adanya sikap yang saling menyalahkan atas kondisi anaknya yang autistik, menyalahkan masa lalu, suami menyalahkan istri atas ketidakmampuan dalam mengasuh anaknya dan sebagainya.

Masa-masa sulit yang dihadapi oleh orang tua adalah menanti diagnosis dan setelah hasil diagnosis yang menyatakan anaknya berlabel autistik. Orang tua bingung dan cemas atas situasi dan kondisi perkembangan anaknya yang autistik pada saat ini dan di masa datang. Hardman, Drew, Egan dan Wolf (1993) yang dikutip oleh Handerson (2004) dan Puspita (2009) menyatakan bahwa dengan mengetahui anaknya didiagnosis sebagai autistik, orang tua mengalami shock (tidak percaya). Sikap ini biasanya diikuti dengan berbagai sikap cemas, merasa bersalah, menjadi persoalan, binggung, tidak punya harapan, marah, tidak berdaya, atau menolak, limbung, tidak tahu harus berbuat apa, merasa tidak berdaya, menyalahkan diri sendiri, marah kepada diri sendiri, pasangan bahkan kepada anaknya yang autistik tersebut dan bertanya-tanyan kepada Tuhan kenapa terjadi seperti ini. Mereka sedih sekali dan muncul sikap putus asa yang dapat berkembang menjadi depresi dan stres berkepanjangan, merasa tidak diperlakukan dengan adil, tidak percaya terhadap fakta dan berpindah dari satu dokter ke dokter lain untuk menegaskan bahwa dokter tersebut salah; tawar menawar diagnosa dan menolak kenyataan/fakta lalu bersikukuh bahwa anak tidak bermasalah.

Hal senada juga ditunjukkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2008), bahwa ibu yang memiliki sikap/penyesuaian diri negatif terhadap kehadiran anak autistik memiliki ciri-cri seperti tidak dapat menerima kenyataan memiliki anak autistik secara apa adanya, tidak melakukan penanganan terhadap anak autistik dan merasa rendah diri serta bersikap tertutup terhadap orang lain dengan keberadaan anaknya.

Fakta-fakta tersebut di atas pada umumnya dialami oleh semua orang tua yanag anaknya didiagnosis sebagai anak autistik. Tidak ditemukan orang tua yang menunjukkan siakap “biasa-biasa” saja ketika anaknya didiagnosis sebagai anak autistik. Yang membedakan sikap orang tua terhadap kehadiran anak autistik adalah beberapa lama orang tua “bangkit” datri keadaan yang merasa kurang nyaman menjadi sikap yang optimis, peduli dan menerima anak sebagai mana adanya sehingga pada level tingkat tertinggi yang ditunjukkan orang tua dengan tetap mengatasi masalah selayaknya keluarga yang memiliki anak-anak pada umumnya. Mereka adalah yang sudah berprinsip bahwa masalah selalu hadir dan harus diatasi. Pada level ini, orang tua dan keluarga memandang bahwa kehidupan harus tetap berjalan, tanpa mengeluh dan tetap menatap masa depan keluarga dan anaknya yang selalu menunggu dan membutuhkan pertolongan orang tua dan keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Yuwono, Joko. (2009). Memahami Anak Autistik, Kajian Teoritik dan Empirik. Bandung: PT. Alfabeta.

Tanda-Tanda Awal Keterasingan Sosial anak autistik

Anak-anak autistik sering kali ditandai dengan perilaku yang suka mengasingkan diri/menyendiri, meskipun dalam ruangan yang penuh dengan teman sebayanya ataupun anggota keluarganya. Sebagian besar laporan dari orang tua yang memiliki anak autistik mengatakan bahwa anak mereka lebih memilih aktifitasnya sendiri. Ketika orang tua mengajaknya untuk melakukan permainan selayaknya anak-anak pada umumnya misalnya main bola, mobil-mobilan atau bernyanyi sambil bertepuk tangan, anak autistik kesulitan untuk bergabung dan terlibat di dalamnya.

Siegel (1996) memberikan gambaran kesendirian anak autistik dalam rekaman video sebagai proyek penelitian pada anak-anak autistik usia 2-3 tahun, dimana hal ini sangat mungkin kita dapat melihat kesendirian anak autistik. Anak-anak autistik kesulitan untuk bergabung dalam ruangan yang ramai dan tidak nampak ada keterlibatan dalam situasi dan peristiwa didalamnya. Ketika anak autistik mengikuti kegiatan ulang tahun, mereka memilih asyik dengan dirinya sendiri dengan membuka-buka hadiah/kado ulang tahun temannya atau sekedar melambaikan suatu potongna pita secara berulang-ulang.

DAFTAR PUSTAKA

Yuwono, Joko. (2009). Memahami Anak Autistik, Kajian Teoritik dan Empirik. Bandung: PT. Alfabeta.

Perilaku Sosial Anak Autistik

Perilaku sosial menyebabkan seseorang dapat berhubungan dengan lingkungan dan berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungan sosialnya. Jika anak mengabaikan kehadiran orang lain di sekelilingnya maka anak tersebut memiliki perilaku yang cenderung bergerak kesana-kemari, bersuara sendiri, menggigit, menggaruk-garuk, mengotak-atik sesuatu ditangannya ataupun “flapping” (mengepak-kepakkan tangannya). Perilaku sosial ini dikatakan tidak komunikatif, tetapi sebenarnya perilaku tersebut sebagai upaya untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dalam berbagai situasi. Hal ini membuktikan bagaimana keterkaitan antara perilaku sosial yang dipengaruhi oleh pemahaman komunikasi.

Perilaku sosial anak autistik yang muncul terlihat tidak singkron dengan nilai-nilai sosial di lingkungannya. Hal ini dikarenakan anak-anak autistik tidak memahami sebagian besar nilai-nilai sosial yang berlaku sehingga orang kebanakan yang tidak memahami kondisi anak autistik maka yang terjadi adalah marah dan mungkin menanyakan “apa orang tuanya tidak mendidik ?”. Ketika orang-orang sedang antri untuk membeli es cream di sebuah pusat pembelanjaan, Yudi, 7 tahun (nama samaran) tiba-tiba lari menuju ke antrian paling depan dan menyerobot es cream yang sedang dipegang oleh seseorang paling depan dan langsung menjilatnya. Yudi seperti tidak merasa bersalah dengan perilaku sosialnya.

Perilaku sosial ini sebaikanya diajarkan dan diterapkan secara rutin dan konsisiten. Tata laksana perilaku yang rutin, konsisten dan pembiasaan yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan anak merupakan bagian yang penting. Tetap ajarkan dan latih dalam kehidupan sehari-hari sesuai konteksual dari lingkungan sosial anak. Memulai dalam lingkuangan yang sangt kecil misalnya keluarga, teman bermain, di playgroup atau taman kanak-kanak merupkan bagian yang terpenting.

DAFTAR PUSTAKA

Yuwono, Joko. (2009). Memahami Anak Autistik, Kajian Teoritik dan Empirik. Bandung: PT. Alfabeta.

Perilaku Self Injury

Perilaku Self Injury

Self Injury merupakan bentuk perilaku anak-anak autistik yang dimanifestasikan dalam bentuk menyakiti diri sendiri. Perilaku ini muncul dan meningkat dikarenakan beberapa masalah seperti rasa jemu, stimulus yang kurang atau kebalikannya yakni adanya stimulus yang berlebihan. Ada juga yang mungkin disebabkan secara langsung yang berkaitan biologis.

Beberapa kasus perilaku yang menyakiti diri sendiri seperti menjambak rambut, menggigit dan membenturkan kepalanya sendiri kedinding atau di atas lantai. Perilaku ini muncul secara spontan dan dilakukan tanpa ragu-ragu, “sungguh-sungguh”. Beberapa anak autistik yang memiliki perilaku ini tidak menunjukkan rasa sakit meskipun kenyataan akibat dari perilakunya menunjukkan adanya bekas benjol atas benturan kepala dengan lantai atau dinding, berdarah atau membiru pada bagian tubuh tertentu sebagai bekas gigitannya sendiri. Rasa sakit yang ditimbulkan direspon secara “singkat”. Hal ini menunjukkan adanya indikasi bebrapa kasus anak autistik yang memiliki masalah dengan fungsi sensorinya dimana seperti sama sekali tidak merasakan rasa sakit yang sedang dialaminya. Biasanya hal ini diduga karena beberapa faktor seperti kematangan anak, pemahaman anak, diet makanan, terpi yang diberikan dan penanganan yang bersifat medis dan tentu usaha yang sangat luar biasa dari sekolah dan orang tua serta keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Yuwono, Joko. (2009). Memahami Anak Autistik, Kajian Teoritik dan Empirik. Bandung: PT. Alfabeta.

Perilaku Aggressive

Perilaku Aggressive

Meskipun tidak semua anak autistik menunjukkan perilaku aggrssive, tapi ini merupakan gejala yang sangat umum. Perilaku yang menunjukkan kemarahan yang meledak-ledak dan seketika pada anak-anak autistik merupakan hal yang sangat umum. Bentuk perilaku anak-anak autistik ini seperti menendang, memukul atau melempar dengan merusak benda yang ada disekitarnya. Perilaku agresif merupakan symptom dari gangguan, bukan sebagai akibat dari ketrampilan yang bersifat parenting yang buruk. Yang membedakan perilaku agresif pada anak-anak autistik dengan anak-anak pada umumnya adalah bahwa perilaku agresif pada anak-anak autistik menunjukkan agresifitas yang berlebihan dan penyebabnya terkadang terkesan sangat sederhana (bagi kita) dan terjadi secara tiba-tiba seperti tidak nyata penyebab kejadiannya.

Bentuk dari perilaku agresif anak-anak autistik dimanifestasikan dalam berbagai bentuk menyerang orang lain seperti memukul, menjambak, menendang-nendang, memberantakan benda atau menggigit orang lain. Alasan munculnya perilaku ini pada umumnya karena kebutuhan/keinginan anak tidak terpenuhi meskipun masalahnya sangat sepele (bagi kita) misalnya mainan kesukaanya diambil, posisi yang ditata secara berderet berubah, dilarang main air dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Yuwono, Joko. (2009). Memahami Anak Autistik, Kajian Teoritik dan Empirik. Bandung: PT. Alfabeta.

Perilaku Anak Autistik

Semua yang kita lakukan dapat disebut sebagai perilaku. Senyum, makan, minum, berjalan, menangis dan berbicara merupakan perilaku (behavior). Dalam tahap awal perkembangan, semua perilaku tersebutdiharapkan dan didorong agar muncul pada tahap perkembangan dan pertumbuhan. Sebagian dari perilaku menunjukan perilaku yang baik, dapat diterima dan tepat. Tetapi terkadang sebagian orang memiliki masalah dalam perilakunya.

Beberapa bentuk perilaku anak autistik menunjukkan keberbedaan yang mencolok dibanding dengan anak-anak pada umumnya. Perbedaan perilaku anak autistik nyata berbeda kaitannya dengan perkembangan perilaku anak-anak seusianya. Seperti ciri-ciri perilaku anak autistik yang tak terarah; mondar-mandir, lari-lari, manjat-manjat, berputar-putar, lompat-lompat, rigid routine, tantrum, terpukau terhadap benda yang berputar atau benda yang bergerak) menunjukkan perbedaan yang nyata dengan teman seusianya. Dengan perbedaan ini, perilaku anak autistik menjadi masalah dari perkembangannya. Beberapa masalah perilaku dapat ditunjukan dalam situas-situasi sebagai berikut:

· Anak tidak melakukan dengan tepat sesuai dengan lingkungan sekitar.

· Perilaku anak-anak tidak sesuai dengan apa yang diharapkan dari teman-teman sebayanya.

· Anak-anak tidak melakukan apa yang kita ingin mereka lakukan atau ketika kita ingin mereka untuk melakukan sesuatu atau bagaimana kita ingin hal itu dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Yuwono, Joko. (2009). Memahami Anak Autistik, Kajian Teoritik dan Empirik. Bandung: PT. Alfabeta.

IQ Anak Autistik

IQ Anak Autistik

Lewis (2003) menulis berbagai laporan hasil studi tentang IQ anak autistik yang cukup menarik untuk disimak. Kebanyakan laporan studi menyatakan bahwa IQ anak autistik berada dibawah 70. Laporan tentang hal ini rata-rata ditulis pada tahun 1999. Beberapa laporan yang dikutip oleh Lewis seperti fombonne (1999) telah mereview 12 epidemilogi dengan menstudi level IQ yang dipublikasikan antara tahun 1966 hingga 1999. Sekitar dua juta anak yang berusia dari sejak lahir hingga 27 tahun dipelajari. Hanya 4% ditemukan sebagai autistik akni 80.000. Ia melaporkan bahwa seperempat anak memiliki IQ:70, seperempatnya lagi memiliki IQ antara 50-69 dan setengahnya memiliki IQ dibawah 50.

Lewis juga melaporkan tentang IQ anak autistik yang ditulis oleh Foisten, dkk (1999). Ia melaporkan hasil studi dari 90 anak autistik berusia 3-32 tahun. Ia mencatat bahwa 21% anak autistik memiliki IQ dibawah 30, 24% memiliki IQ 30 hingga 49, 17% memiliki IQ 50-69 dan 38% yang memiliki IQ diatas 70. Volkmar, Szanmari dan Sparrow (1999) melaporkan bahwa 199 anak-anak dan remaja anak autistik, 48% memiliki IQ dibawah 35, 38% ber-IQ 35-69 dan hanya 14% memiliki IQ 70. Dalam laporannya tidak disebutkan berapa jumlah laki-laki dan perempuan, tapi ia menyatakan bahwa hanya 17% anak laki-laki yang memiliki IQ 70 dan perempuan hanya 2%-nya saja. Berkaitan dengan IQ yang ditinjau dari jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan belum ditemukan perbandingan bahwa IQ anak autistik laki-laki lebih tinggi dibanding IQ anak autistik berjenis kelamin perempuan. Hal ini masih membutuhkan studi ilmiah yang akurat.

Berbagai laporan ilmiah tentang IQ anak autistik diatas menunjukkan bahwa level IQ anak autistik berkecendrungan dibawah rata-rata anak-anak pada umumnya yalni dibawah 90. tidak banyak ditemukan laporan IQ anak autistik melebihi batas rata-rata anak-anak pada umumnya. Namun demikian, ada indikasi non verbal lebih baik dibanding IQ verbal serta tes-tes yang menggunakan visual spatial lebih baik bagi IQ anak autistik. Ditinjau dari pengelompokannya, IQ pada anak MR(Mentally Retardation).Ditinjau dari IQ, anak MR(Mentally Retardation) terbagi menjadi 3 kategori yakni Debil dengan IQ 51-80, Embisil ber-IQ 26-50 dan Idiot ber-IQ dibawah 25.

Berbagai laporan ilmiah diatas disikapi secara beragam oleh para ahli, praktisi, terapis, guru ataupun orang tua dari anak autistik sendiri. Pro dan kontra tentang pengukuran/tes IQ ini masih terus berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA

Yuwono, Joko. (2009). Memahami Anak Autistik, Kajian Teoritik dan Empirik. Bandung: PT. Alfabeta.

Faktor-faktor Penyebab Anak Autistik

Secara spesifik, faktor-faktor yang menyebabkan anak menjadi autistik belum ditemukan secara pasti, meskipun secara umum ada kesepakatan di dalam lapangan yang membuktikan adanya keragaman tingkat penebabnya. Hal ini termasuk bersifat genetik, metabolik dan gangguan syaraf pusat, infeksi pada masa hamil (rubela), gangguan pencernaan hingga keracunan logam berat. Struktur otak yang tidak normal seperti hydrocephalus juga dapat menyebabkan anak autistik.

Selain hal-hal diatas, ada dugaan bahwa anak autistik disebabkan oleh faktor lingkungan misalnya vaccinations. Beberapa orang tua melaporkan bahwa anaknya tetap “normal” perkembangannya setelah diberikan vaccinations, tetapi ada juga orang tua melaporkan bahwa ada perubahan yng kurang menguntungkan setelah anaknya diberikan vaccination. Ada beberapa kasus yang dialami oleh para orang tua yang berkaitan dengan perkembangan anaknya. Mereka mengaku bahwa ciri-ciri anak autistik muncul pada anak setelah diberikan vaccination. Hal ini masih menjadi perdebatan di antara para ahli bidang kedokteran. Tentu penelitian ilmiah merupakan bagian penting untuk menjawab permasalahan ini.

Dugaan penyebab lainnya adalah perilaku ibu pada masa hamil yang sering mengkonsumsi seafood dimana jenis makanan ini mengandung mercury yang sangat tinggi karena adanya pencemaran air laut. Selain itu adanya kekurangan mineral yang penting seperti zinc, magnesium, iodine, lithium, and potassium. Pestisida dan racun yang berasal dari lingkungan lainnya dan masih banyak lagi faktor-faktor dari lingkungan yang belum diketahiu dengan pasti.

DAFTAR PUSTAKA

Yuwono, Joko. (2009). Memahami Anak Autistik, Kajian Teoritik dan Empirik. Bandung: PT. Alfabeta.

Ciri-ciri Anak Autistik

Gangguan pada anak autistik terdapat kelompok ciri-ciri yang tersedia sebagai kriteria untuk mendiagnosis autistik. Hal ini terkenal dengan istilah “Wing’s Triad of Impairment” yang telah dicetuskan oleh Lorna Wing dan Judy Gould.

Selanjutnya, dibawah ini merupakan beberapa ciri-ciri anak-anak autistik yang dapat diamati sebagai berikut:

1. Perilaku

· Cuek terhadap lingkungan.

· Perilaku tak terarah; mondar-mandir, lari-lari, manjat-manjat, berputar-putar, lompat-lompat, dsb.

· Kelekatan terhadap benda tertentu.

· Rigid routine.

· Tantrum.

· Obsessive-Complusive Behavior.

· Terpukau terhadap benda yang berputar atau benda yang bergerak.

2. Interaksi Sosial

· Tidak mau menatap mata.

· Dipanggil tidak menoleh.

· Tak mau bermain dengan teman sebayanya.

· Asyik/bermain dengan dirinya sendiri.

· Tidak ada empati dalam lingkungan sosial.

3. Komunikasi dan Bahasa

· Terlambat bicara.

· Tak ada usaha untuk berkomunikasi secara non verbal dengan bahasa tubuh.

· Meracau dengan bahasa yang tak dapat dipahami.

· Membeo (echolalia).

· Tak memahami pembicaraan orang lain.

Hal-hal lain yang berkaitan dengan ciri-ciri anak autistik yang menyertainya seperti gangguan emosional seperti tertawa dan menangis tanpa sebab yang jelas, tidak dapat berempati, rasa takut yang berlebihan dan sebagainya. Hal lainnya adalah koordinasi motorik dan persepsi sensoris misalnya kesulitan dalam menangkap dan melempar bola, melompat, menutup telinga bila mendengar suara tertentu; car call, klakson mobil, suara tangisan bayi dan sirine, menjilat-jilat benda, mencium benda, tidak dapat merasakan sakit, tidak memahami bahaya dan sebagainya serta gangguan perkembangan kognitif anak.

DAFTAR PUSTAKA

Yuwono, Joko. (2009). Memahami Anak Autistik, Kajian Teoritik dan Empirik. Bandung: PT. Alfabeta.

Definisi

Definisi

Autistik merupakan gangguan perkembangan yang mempengaruhi beberapa aspek bagaimana anak melihat dunia dan bagaimana belajar melalui pengalamannya. Anak-anak dengan gangguan autistik biasanya kurang dapat merasakan kontak sosial. Mereka cenderung menyendiri dan menghidari kontak dengan orang. Orang dianggap sebagai objek (benda) bukan sebagai subjek yang dapat berinteraksi dan berkomunikasi.

Monks dkk. (1988) menuliskan bahwa autistik berasal dari kata “Autos” yang berarti “Aku”. Dalam pengertian non ilmiah dapat diinterprestasikan bahwa semua anak yang mengarah kepada dirinya sendiri disebut autistik. Berk (2003) menuliskan autistik dengan istilah “absorbed in the self” (keasyikan dalam dirinya sendiri). Wall (2004) menyebutnya sebagai “aloof atau withdrawan” dimana anak-anak dengan gangguan autistik ini tidak tertarik dengan dunia disekitarnya. Hal yang senada diungkapkan oleh Tilton (2004) bahwa pemberian nama autistik karena hal ini diyakini dari “keasyikan yang berlebihan” dalam dirinya sendiri. Jadi, autistik dapat diartikan secara sederhana sebagai anak yang suka menyendiri/asyik dengan dunianya sendiri.



DAFTAR PUSTAKA

Yuwono, Joko. (2009). Memahami Anak Autistik, Kajian Teoritik dan Empirik. Bandung: PT. Alfabeta.

Definisi

Definisi

Autistik merupakan gangguan perkembangan yang mempengaruhi beberapa aspek bagaimana anak melihat dunia dan bagaimana belajar melalui pengalamannya. Anak-anak dengan gangguan autistik biasanya kurang dapat merasakan kontak sosial. Mereka cenderung menyendiri dan menghidari kontak dengan orang. Orang dianggap sebagai objek (benda) bukan sebagai subjek yang dapat berinteraksi dan berkomunikasi.

Monks dkk. (1988) menuliskan bahwa autistik berasal dari kata “Autos” yang berarti “Aku”. Dalam pengertian non ilmiah dapat diinterprestasikan bahwa semua anak yang mengarah kepada dirinya sendiri disebut autistik. Berk (2003) menuliskan autistik dengan istilah “absorbed in the self” (keasyikan dalam dirinya sendiri). Wall (2004) menyebutnya sebagai “aloof atau withdrawan” dimana anak-anak dengan gangguan autistik ini tidak tertarik dengan dunia disekitarnya. Hal yang senada diungkapkan oleh Tilton (2004) bahwa pemberian nama autistik karena hal ini diyakini dari “keasyikan yang berlebihan” dalam dirinya sendiri. Jadi, autistik dapat diartikan secara sederhana sebagai anak yang suka menyendiri/asyik dengan dunianya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Yuwono, Joko. (2009). Memahami Anak Autistik, Kajian Teoritik dan Empirik. Bandung: PT. Alfabeta.

;;