Sabtu, 30 Oktober 2010
Kelas : 3pa05
Fakultas Psikologi
Diah Septilinawati (10508060)
Ayudya Rindani (10508033)
Marni Setia (10508129)
Nurbianti (1058136)
UNIVERSITAS GUNADARM,A
BEKASI
2010
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan atas rahmat dan karunia-Nya akhirnya makalah yangberjudul “Perbandingan Konflik Dalam Negeri dan Luar Negeri” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini dibuat dengan tujuan untuk menambah nilai tugas kami dalam matakuliah Psikologi Kelompok.
Dalam penulisan makalah ini kami ingin mengucapkan terimakasih kepada orang tua kami yang tak luput memberi doa dan bantuan secara financial. Para penulis jurnal yang telah memberi sumber referensi dalam penulisan makalah ini.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Bila ada kesalahan kata mohon dimaklumi. Oleh karena itu diharapkan untuk para pembaca memberikan saran dan kritik yang membangun guna pembelajaran agar tidak mengulang kesalahan di dalam penulisan makalah di lain waktu.
Wassalamualaikum wr.wb.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Semula orang mengira bahwa sumber konflik adalah ras, jenis kelamin, kebudayaan, dan sebagainya. Akan tetapi, penelitian membuktikan bahwa hubungan antar individu atau antar kelompok dapat menjadi sumber konflik yang lebih penting.
Dalam makalah ini akan kami tampilkan resume jurnal dari dalam negeri dan luar negeri sebagai bahan perbandingan terkait dengan tema konflik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Teori
1. Pengertian Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Konflik adalah sesuatu yang wajar terjadi di masyarakat, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
2. Faktor penyebab konflik
• Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
• Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda pula. seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya.
• Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, diantaranya menyangkut bidang ekonomi, politik, dan sosial.
• Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
3. Jenis-jenis konflik
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
• konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role)
• konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
• konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
• konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara).
4. Akibat konflik
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
1. keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
2. perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
3. kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
4. dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
• Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
• Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
2.2 Ulasan / Kesimpulan Jurnal
2.2.1 Jurnal ke-1
Judul : Inequality and Social Conflict Over Land in Africa
(Ketidaksetaraan dan Konflik Sosial Atas Tanah di Africa)
CONCLUSION
Recent studies from many parts of Africa reveal not merely that relations
around land are socially ‘embedded’ but that they are embedded in unequal social
relationships. The pervasive pattern of most rural land lying under various types
of ‘customary’, communal or collective holding – whether of chiefdom, village,
clan or lineage – does indeed mean that many people continue to have some access
to land for cultivation, wood and other uses. The lauded flexibility of customary tenure, often in practice more resembling extended family tenure, remains an
important asset to small-scale producers across the continent, and the rhetoric of
trusteeship or guardianship (‘for the living and the yet-to-be-born’) retains truth
for many places. At the same time, the proliferation of incidents of conflict over
land cannot be ignored. The documentation of increasing competition and social
conflict around land and landed resources across Africa belies the assumption that
socially embedded systems of landholding and land use guarantee access, let
alone equal access. Nor do the examples of social ‘negotiation’ around land and
of fuzzy or ambiguous claims and counter-claims to the same lands gainsay other
examples of fierce conflict and exclusionary processes.
In this paper, I have suggested that the surge of studies and other reports over
the past decade or more that detail mounting social competition and conflict over
land require a reorientation of research and analysis. The emphasis on the
socially strategic uses of negotiability and ambiguity in relations over land has
served well to undermine simple, economistic premises about the insecurity of
all property that is not individually owned. Now, that emphasis has become
a barrier to analysing the social relations of inequality surrounding land, and the
desire to attend to agency, multiplicity and contingency obscures processes of
inequality and social differentiation. So, too, while notions about the backwardness
of customary tenure have mostly gone,20 the new turn to seeing customary
systems as either moving along an evolutionary path towards more individualized
property or adapting flexibly to changing conditions ignores the significance
of social differentiation and competition.
The proliferating tensions and struggles between generations and genders, or
between groups labelled by region, ethnicity or religion, are intimately tied up
with the dynamics of division and exclusion, alliance and inclusion that constitute
class formation. The research shows that as land becomes a property or a commodity,
so we see developing ‘a very different sense of “belonging”’ – from
someone belonging to a place to a property belonging to someone; in short, a
shift from inclusion to exclusion (Peters 1998, 360). As various authors remind
us, class is not ‘a static category, or a “thing”, [but] a relationship, which is itself
enmeshed with other relationships, such as those of race and gender’ (Sylvain
2001, 725). Sylvain’s analysis of ‘baasskap’ between Afrikaners and Ju/’hoansi in
Namibia shows how the patriarchal relations between farm-owner and servant,
between white patron and black dependant, ‘shape class relations on [the] farms’.
Amanor demonstrates a similar dynamic in his studies in Ghana (1999, 2001),
where generation, gender and kinship relations intersect with the dynamics of
commodification and linkages among national elites, state agents and international
corporations to produce social formations that are riven with inequalities.
Detailed analysis of the ‘historical and cultural formation of [a particular] class
system’ (Sylvain 2001, 725) involves, then, a determined move away from notions of undifferentiated local ‘communities’ and ‘social networks’, a move
brilliantly made by Gerald Sider (1986) in his analysis of Newfoundland petty
commodity fisher families discussed earlier.
The socio-cultural dynamic around competition over land and its place in
class formation must also be seen in relation to the fact emphasized by Catherine
Besteman: ‘Struggles over defining, controlling, using, and benefiting from the
environment are . . . central to the projects of state-building and nation-making’
(1999, 226). The research on competitive struggles over land and land-based
resources clearly shows the critical roles of state agencies, members of elites and
a national ‘dominant class’ (Moore 1991), persons able to use state bureaucracies
and procedures for their own benefit, as well as the increasing importance of
transnational networks linking nationally based agents with international corporations
and foreign governments. These latter linkages are seen by some
researchers to represent not only modes of accumulation but new types of governance
in a volatile globalized world.
In sum, reports out of Africa show that the mounting social competition and
conflict turning on land are part of processes that stretch from the most local to
the most global. The challenge of linking ‘small acts’ to wider processes will be
taken up differently by different researchers, depending on discipline, topic or
site. Here, I have suggested that the stories so well told about inclusionary
practices of land-use and about the ability of ‘small acts’ and small people to
out-manoeuvre the powerful must be complemented and modified by stories of
differentiation, displacement and exclusion.
KESIMPULAN
Studi terbaru dari banyak bagian Afrika tidak hanya mengungkapkan bahwa hubungan di sekitar tanah sosial 'tertanam' tetapi bahwa mereka tertanam dalam hubungan sosial yang tidak setara. Pola yang paling banyak di tanah di pedesaan berbaring di bawah berbagai macam 'pribumi', komunal atau memegang kolektif - baik dari desa kepala suku, atau keturunan - memang berarti bahwa banyak orang yang terus memiliki akses ke beberapa lahan untuk budidaya, kayu dan lain menggunakan. Memuji fleksibilitas kepemilikan adat, seringkali dalam prakteknya lebih seperti keluarga besar, tetap merupakan aset penting bagi produsen kecil di seluruh benua, dan retorika perwalian atau perwalian ('untuk hidup dan-tidak-akan-lahir' mempertahankan) kebenaran untuk banyak tempat. Pada saat yang sama, proliferasi insiden konflik atas tanah tidak dapat diabaikan. Dokumentasi kompetisi yang meningkat dan konflik sosial di sekitar sumber daya lahan dan lahan di Afrika memungkiri asumsi bahwa sistem sosial tertanam kepemilikan tanah dan lahan keamanan akses menggunakan, apalagi akses yang sama. Juga bukan contoh dari sosial 'negosiasi' sekitar tanah dan klaim yang tidak jelas atau ambigu dan kontra-klaim sengketa tanah yang sama contoh lain dari proses konflik sengit dan kepemilikan.
Dalam tulisan ini, saya telah menyarankan bahwa gelombang studi dan laporan lainnya selama dekade terakhir ini bahwa persaingan sosial rinci dan konflik atas tanah memerlukan reorientasi penelitian dan analisis. Penekanan pada penggunaan hal dpt diperundingkan sosial strategis dan ambiguitas terkait dengan pembebasan lahan telah dilayani dengan baik untuk meruntuhkan sederhana, ketidakamanan tempat ekonomistik pada semua harta tidak dimiliki secara individual. Sekarang, penekanan yang telah menjadi penghalang untuk menganalisis hubungan sosial sekitarnya ketidaksetaraan tanah, dan keinginan untuk menghadiri ke multiplisitas, agen dan mengaburkan kontingensi ketidaksetaraan dan diferensiasi sosial. Begitu juga, sedangkan pengertian kepemilikan adat dari keterbelakangan sebagian besar hilang, giliran baru untuk melihat sistem adat sebagai bergerak di sepanjang jalan evolusi untuk properti individu lebih fleksibel beradaptasi terhadap perubahan kondisi mengabaikan pentingnya diferensiasi sosial dan kompetisi. Bahwa ketegangan berkembang biak dan perjuangan antar generasi dan jenis kelamin, atau antara kelompok yang diberi label oleh wilayah, etnis atau agama, terkait erat dengan dinamika divisi dan pengucilan, dan penyertaan pembentukan aliansi kelas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagai tanah menjadi milik atau komoditas, sehingga kita melihat mengembangkan rasa yang sangat berbeda dari "milik" '- dari tempat seseorang untuk properti yang dimiliki oleh seseorang, singkat, pergeseran dari inklusi untuk pengecualian (Peters 1998, 360). Seperti berbagai penulis mengingatkan kita, kelas bukanlah 'kategori statis, atau "sesuatu", [tetapi] hubungan, yang itu sendiri terlibat dalam hubungan lain, seperti ras dan gender' (Sylvain 2001, 725). analisis Sylvain dari 'baasskap' antara Afrikaner dan Ju / 'hoansi di Namibia menunjukkan bagaimana hubungan patriarkal antara petani dan pemilik hamba, antara pelindung tergantung putih dan hitam,' hubungan kelas dalam '[itu] peternakan. Amanor menunjukkan dinamika yang sama dalam studinya di Ghana (1999, 2001), di mana generasi, jender dan hubungan kekerabatan bersinggungan dengan dinamika komodifikasi dan hubungan antara elit nasional, lembaga negara dan perusahaan-perusahaan internasional untuk menghasilkan formasi sosial dibagi dengan ketidaksetaraan. Analisis terperinci dari 'sejarah pembentukan dan budaya [tertentu] sistem kelas' (Sylvain 2001, 725) melibatkan, kemudian, bergerak ditentukan dari gagasan tentang 'masyarakat' dibedakan lokal dan 'jaringan sosial', sebuah langkah brilian yang dibuat oleh sari Gerald (1986) dalam sebuah keluarga analisis komoditas nelayan kecil Newfoundland dibahas sebelumnya.
Dinamika sosial-budaya di seluruh kompetisi atas tanah dan tempatnya di dalam formasi kelas juga harus dilihat dalam hubungannya dengan fakta ditekankan oleh Catherine Besteman: 'Perjuangan untuk mendefinisikan, mengendalikan, menggunakan, dan manfaat dari lingkungan tersebut. . . pusat untuk proyek pembangunan negara dan bangsa-membuat '(, 1999 226). Penelitian tentang perjuangan kompetitif atas tanah dan sumber daya lahan berbasis jelas menunjukkan peran penting dari lembaga negara, anggota elit dan 'kelas dominan', yang adalah nasional (Moore 1991), dapat menggunakan birokrasi negara dan prosedur mereka sendiri manfaat, sebagai manusia dan semakin pentingnya jaringan transnasional menghubungkan berbasis agen nasional dengan perusahaan-perusahaan internasional dan pemerintah asing. Hubungan ini terakhir dilihat oleh beberapa peneliti untuk mewakili tidak hanya modus akumulasi, tetapi tipe baru pemerintah dalam dunia global yang mudah berubah.
Singkatnya, laporan dari Afrika menunjukkan bahwa persaingan dan konflik sosial meningkatkan menghidupkan tanah merupakan bagian dari proses yang membentang dari yang paling lokal sampai yang paling global. Tantangan menghubungkan tindakan kecil ke proses yang lebih luas akan diambil berbeda oleh peneliti yang berbeda, tergantung pada topik, disiplin atau situs. Di sini, saya telah menyarankan bahwa dengan cerita yang sangat baik untuk menceritakan tentang praktek pencantuman penggunaan lahan dan tentang kemampuan tindakan kecil dan orang-orang kecil untuk keluar-manuver yang kuat harus diselesaikan dan dimodifikasi oleh kisah diferensiasi, perpindahan dan eksklusi.
Keterangan :
Jurnal di atas adalah membahas tentang konflik sosial yang terjadi di Afrika. Terdapat persaingan dan konflik sosial atas perebutan tanah yang berawal dari masalah kecil hingga ke masalah yang besar.
2.2.2 Jurnal ke-2
Judul : On The Theory of Ethnic Conflict
Conclusions
In this paper we attempted to developed a new, simple explanation for the salience of ethnicity in exploitation and conflict around the world. Ethnicity provides a technology for group membership and exclusion which is used to avoid indiscriminate access to the spoils of conflict. Without such a technology groups become porous and the spoils of conflict are dissipated. In relating the incidence of ethnic conflict to variables such as group size and the share of expropriable assets in overall wealth, we were able to derive various implications that seem to shed light on a wide variety of historical episodes of conflict (and lack thereof). It is tempting to use the insights of the model to suggest policy recommendations to minimize the incidence of conflict. Since we argue that an important cause of conflict is greed, there ought to be some set of policies that have the ability to alter incentives so as to prevent conflict. Foremost, the model suggests that economic development alone will remove the incentives for conflict. Clearly, then, a long-term policy of promoting growth around the world, especially amongst the relatively poor but resource rich countries, is one clear implication of the model (and, of course, there are many benefits other than reducing conflict that stem from such a policy). Secondly, the model of Section 4 suggests that ethnic conflict is sometimes preemptive, in that the stronger group preempts with conflict to protect itself from aggression by a smaller group. If the smaller group could commit to no conflict, then the larger group would feel no need for preemption. This is certainly not a paper about how to form institutions that facilitate commitment, but it highlights the role of such institutions in avoiding conflict. Lastly, the model highlights the role of expropriable resources, which often generate significant export revenues, in fueling conflict. This might give an additional reason for investment in education, to the extent that this can help shift the export composition of a country away from natural resources. A policy of discouraging primary commodity exports and encouraging a larger human-capital content to exports would be another policy that would seem to reduce the incentives for conflict We would hope, too, that this paper motivates additional research on the role of ethnicity in conflict. Our theory highlights the role of ethnic “distance” in leading to ethnic conflict: ceteris paribus, ethnic groups are more likely to clash the more pronounced the differences that mark the ethnic cleavage. We argued that physical differences are probably the most important sources of differences. At the moment systematic data on physical differences among ethnic groups is nonexistent. Hopefully research such as ours would motivate the collection of this type of data.
Kesimpulan
Dalam makalah ini kami mencoba untuk mengembangkan penjelasan, arti-penting baru yang sederhana dalam eksploitasi etnisitas dan konflik di seluruh dunia. Etnisitas menyediakan teknologi untuk anggota grup dan pengecualian yang digunakan untuk mencegah akses sembarangan ke rampasan konflik. Tanpa kelompok teknologi menjadi keropos dan merusak konflik menghilang. Dalam insiden terkait konflik etnis untuk variabel-variabel seperti ukuran kelompok dan seluruh kekayaan aset hak alih tanah untuk kepentingan umum, kita bisa memperoleh berbagai implikasi yang tampaknya menjelaskan berbagai episode sejarah konflik (dan kekurangan daripadanya).
Hal ini menggoda untuk menggunakan model wawasan untuk mengusulkan rekomendasi kebijakan untuk meminimalkan kejadian konflik. Karena kita percaya bahwa penyebab utama konflik adalah keserakahan, harus ada seperangkat kebijakan yang memiliki kemampuan untuk mengubah insentif sehingga mencegah konflik. Terutama, model ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi saja akan menghilangkan insentif untuk konflik. Jelas, saat itu, kebijakan jangka panjang untuk meningkatkan pertumbuhan di seluruh dunia, terutama di kalangan negara-negara kaya relatif miskin tetapi memiliki sumber, merupakan salah satu implikasi yang jelas model (dan, tentu saja, ada banyak manfaat selain untuk mengurangi konflik yang berasal dari kebijakan seperti itu) Kedua, model Bagian 4 menunjukkan bahwa konflik etnis kadang-kadang memesan efek terlebih dahulu, dalam kelompok yang mendapatkan lebih dulu kuat dengan konflik untuk melindungi diri dari agresi oleh kelompok yang lebih kecil. Jika kelompok yang lebih kecil dapat dilakukan dengan konflik tidak, maka kelompok yang lebih besar akan merasa tidak perlu hak membeli lebih dulu. Hal ini tentu bukan sebuah makalah tentang bagaimana membentuk lembaga yang memfasilitasi komitmen, tetapi menyoroti peran lembaga-lembaga dalam menghindari konflik. Akhirnya, model ini menyoroti peran sumber daya expropriable, yang sering menghasilkan pendapatan ekspor yang signifikan, dalam memicu konflik. Hal ini bisa memberikan alasan tambahan untuk investasi di bidang pendidikan, sejauh ini dapat membantu pergeseran komposisi ekspor suatu negara sumber daya alam. Suatu kebijakan ekspor komoditas primer menyusut dan mendorong konten manusia-modal ekspor akan lebih besar untuk sebuah kebijakan yang tampaknya mengurangi insentif bagi konflik.
Kami berharap juga, bahwa tulisan ini memotivasi penelitian tambahan tentang peran etnis dalam konflik. teori kami menyoroti peran etnis dalam memimpin konflik etnis berjarak: ceteris paribus, kelompok etnis lebih mungkin untuk bentrokan lebih jelas perbedaan yang menandai pembelahan etnis. Kami berpendapat bahwa perbedaan fisik mungkin merupakan sumber yang paling penting dari perbedaan-perbedaan ini. Pada saat data yang sistematis tentang perbedaan fisik antara kelompok etnis yang ada. Semoga studi seperti kami akan memotivasi pengumpulan tipe data.
Keterangan :
Terkait dengan jurnal di atas kami berpendapat bahwa jenis konflik yang di hadapi adalah konflik etnik. Di dalam jurnal tersebut juga dikatakan bahwa penyebab konflik tersebut terdapat perbedaan fisik/ras antar kelompok etnik yang ada.
2.2.3 Jurnal ke-3
Judul : Masalah Konflik antar Etnis
Kesimpulan:
Munculnya konflik antaretnis di Kalimantan memiliki sejarah unik sejak tahun 1967. Diduga keras, di balik konflik ini telah dirancang sebuah drama tragis oleh oknum-oknum TNI waktu itu (Panglima Sumadi dkk.). Tradisi ‘ngayau’ dibangkitkan dan dimanfaatkan oleh pihak yang ingin memperteguh kekuasaan. Namun, konflik antaretnis ini menghangat dan memuncak khususnya pada penghujung era Orba. Ini termasuk salah satu dampak dari kelalaian dalam penanganan masalah perorangan yang akhirnya melebar menjadi konflik antaretnis. Petugas keamanan terkadang kurang cepat memadamkan ‘bara konflik’. Hukum positif dianggap tidak sanggup menjamin keadilan di mata masyarakat. Ketidakadilan ini turut memicu konflik antaretnis. Ada pihak yang kecewa dan bahkan frustrasi menghadapi perlakuan hukum yang tidak menjamin keadilan yang sungguh diharapkan oleh masyarakat.
Konflik antaretnis ini dapat digolongkan menjadi tiga kelompok: 1) konflik ‘murni’ karena segala bentuk akumulasi sosio-kultural; 2) konflik ‘buah rekayasa’ pihak-pihak yang mencari keuntungan dari konflik antaretnis; dan 3) konflik ‘buah provokasi’ karena kurangnya daya kritis masyarakat yang sedang bertikai. Yang sangat penting diperhatikan adalah usaha pencegahan dan penanganan secepat mungkin demi kehidupan yang lebih baik, aman, dan damai.
Sebenarnya, kasus konflik antaretnis Madura-Dayak sudah terjadi sekitar 10 kali. Masih segar dalam ingatan penulis ketika masih duduk di Sekolah Dasar Bruder di Singkawang, R, seorang anggota kepolisian keturunan Dayak ditusuk oleh seorang Madura gara-gara alm. R melarang adiknya untuk bepergian bersama temannya dari keturunan Madura. Umumnya, konflik antaretnis di daerah Kalbar terjadi antara etnis Madura dan Dayak. Sejak tiga tahun lalu, konflik antaretnis di daerah ini melibatkan etnis keturunan Melayu.
Mengapa muncul konflik antaretnis? Setidak-tidaknya terdapat alasan utama munculnya konflik ini:
• akumulasi kejengkelan individual dan sosial etnis Dayak dan Melayu terhadap perilaku
sejumlah orang Madura yang tinggal dan bekerja di Kabupaten Sambas. Kejengkelan ini
muncul karena perilaku dan tindakan sewenang-wenang orang Madura terhadap harta
benda milik orang lain (tanah, kebun, ternak dan keamanan hidup orang lain);
• ketidakadilan sosial dalam menerapkan hukum positif. Pihak-pihak yang menjadi korban tindak kekerasan orang Madura merasa tidak mengalami keadilan dari pihak penegak hukum positif. Hal ini antara lain disebabkan oleh keterlambatan penanganan kasus; serta penanganan masalah yang tidak tuntas dan tidak menjamin keadilan yang diharapkan masyarakat. Akibatnya, masyarakat menjadi ‘penegak hukum dan keadilan’; dan
• solidaritas etnisitas yang tinggi dari kalangan mereka yang menjadi korban tindak kriminal orang Madura. Masyarakat lokal (Dayak dan Melayu) memiliki solidaritas yang tinggi dalam menghadapi tindakan-tindakan yang menjengkelkan dan merugikan masyarakat. Kini muncul pertanyaan: ‘Apakah yang terjadi itu sebenarnya konflik antarbudaya’ dari kalangan etnis yang berkonflik (Madura vs Dayak dan Melayu)? Hal ini tergantung dari makna ‘budaya’ yang dianut. Dalam kasus ini kita ambil saja rumusan budaya yang dilontarkan oleh Edward Tylor (1871) sebagai berikut: ‘…that complex whole includes knowledge, belief, art, morals, custom and other capabilities acquired by man as a member of society.’ De facto konflik yang terjadi sebenarnya mencakup sejumlah unsur dari budaya, seperti ‘knowledge, morals and custom’. Sejumlah warga Madura sebagai pendatang di Kabupaten Sambas agaknya sulit menyesuaikan diri dan menghargai budaya lokal masyarakat Dayak dan Melayu. Pencaplokan tanah, tanaman dan hak-hak dasar orang lain mengundang reaksi individual dan sosial masyarakat lokal. Kebiasaan untuk membawa senjata tajam, misalnya, tidak selalu menggembirakan masyarakat majemuk yang lebih mencintai damai daripada konflik. Ulah-ulah sejumlah preman membuat semua warga Madura, tanpa kecuali, harus meninggalkan tanah Kabupaten Sambas.
Harus diakui, korban konflik antaretnis di daerah ini tidak hanya mencakup kerugian dalam bidang materi, tetapi terutama meninggalkan trauma psikologis yang sulit terhapus dalam kurun waktu singkat. Mereka yang kehilangan anggota keluarga akan tetap menyimpan luka batin yang memprihatinkan masa depan mereka. Seringkali dendam kesumat melilit hidup mereka. Manusia terkubur dalam liang kebencian dan permusuhan yang merugikan hidup persaudaraan. Kehidupan dan karya manusia yang telah dibangun sekian lama lenyap sekejap karena dilahap api, dirusak dan dihancurkan oleh massa yang terbawa amukan emosional.
Keterangan :
Jurnal di atas membahas tentang konflik antar etnis di Indonesia. Di dalam jurnal dijelaskan beberapa alasan mengapa terjadi konflik antar etnis di Indonesia.
2.2.4 Jurnal ke-4
Judul : Hubungan Antara Orang Islam dan Kristen di Indonesia
Kesimpulan
Pada awalnya penelitian ini ada dua tujuan. Yang pertama ingin melihat
bagaimana hubungan antara umat Islam dan Kristen di Indonesia. Yang kedua ingin
menguji stereotip bahwa orang Kristen dan Islam tidak bisa hidup bersama tanpa
masalah.
Untuk mencapai tujuan ini, tujuh belas mahasiswa Kristen dan tujuh belas
mahasiswa Islam diwawancarai oleh peneliti di kampus Universitas Muhammadiyah
Malang. UMM dianggap tempat yang bagus untuk mencapai tujuan penelitian ini
karena UMM salah satu universitas Islam di Jawa Timur dengan mayoritas
mahasiswa Islam dan hanya minoritas mahasiswa Kristen. Dalam hal ini UMM
senada dengan Indonesia yang sebagian besar jumlah penduduknya mayoritas Islam
dan hanya minoritas yang Kristen.
Mahasiswa Kristen di kampus UMM diwawancarai tentang alasan mereka
belajar di kampus UMM sebagai kampus Islam, apa perasaan mereka tentang UMM
sebagai institusi, bagaimana hubungan mereka dengan mahasiswa Islam di kampus,
apakah imannya dipengaruhi karena masuk kampus Islam dan apa masalah yang
dihadapi sebagai mahasiswa Kristen di kampus UMM.
Mahasiswa Kristen ini mengungkapkan hubungan sama mahasiswa Islam baik
sekali. Mereka mempunyai banyak teman di kampus dan untuk kebanyakan
responden semua teman beragama Islam. Mahasiswa Kristen senang bergaul sama
orang Islam di kampus. Meskipun mahasiswa Kristen merasa hubungan dengan orang
Islam di kampus baik, mereka tetap menceritakan tentang beberapa masalah yang
sudah pernah terjadi di kampus. Masalah ini termasuk masalah dengan agama Kristen
57
dijelekkan waktu mata kuliah AIK; kewajiban memakai jilbab waktu Ramadhan atau
ujian akhir semester; dan kewajiban P2KK walaupun itu pada waktu Natal. Masalah
ini tidak dengan mahasiswa Islam tetapi dengan UMM dan peraturannya. Masalah
yang diucapkan dengan teman Islam adalah mahasiswa Kristen terkadang merasa
digoda karena agamanya berbeda atau didorong masuk agama Islam. Tetapi masalah
ini, dengan mahasiswa UMM hanya diceritakan oleh dua responden. Empat
responden mengatakan belum pernah mengalami masalah di kampus UMM.
Jadi walaupun mahasiswa Kristen menghadapi beberapa masalah di kampus
UMM, pada umumnya hubungan antara mahasiswa Kristen dan Islam di kampus, dari
pihak Kristen, baik. Dari pandangan ini stereotip bahwa orang Kristen dan Islam tidak
bisa hidup (atau dalam konteks ini belajar) berdampingan tanpa masalah tidak benar.
Supaya adil dan mahasiswa Islam diberi kesempatan untuk menekspresikan
diri sendiri tentang hal ini, tujuh belas mahasiswa Islam juga diwawancarai. Mereka
ditanyakan tentang imannya, kalau mereka merasa diri sendiri taat atau tidak, dan
juga ditanyakan menurut mereka bagaimana hubungan antara mahasiswa Islam dan
Kristen di kampus UMM.
Tidak semua mahasiswa Islam menganggap diri sendiri taat, malah ada yang
senang dianggap tidak taat. Akan tetapi, hampir semua mahasiswa Islam yang
diwawancarai oleh peneliti sudah pernah aktif dengan organisasi mahasiswa Islam di
kampus. Ketua dari tiga organisasi dan juga dua anggota komite organisasi Islam di
kampus diwawancarai oleh peneliti. Kalau stereotip bahwa orang Islam yang aktif
dengan agamanya tidak bisa bergaul atau hidup berdampingan orang Kristen benar,
pasti mahasiswa ini tidak senang bergaul sama mahasiswa Kristen di kampus.
Dari jawaban responden Islam, mereka memang bisa belajar dan hidup
bersama orang Kristen di kampus. Walaupun kebanyakan responden belum pernah
bertemu mahasiswa Kristen di kampus (karena jumlah mahasiswa Kristen sangat
kecil sekali), mereka tetap mendukung mahasiswa Kristen kalau mereka mau belajar
di UMM. Apalagi beberapa responden mengucapkan mahasiswa Kristen harus
menjaga keyakinannya dan seharusnya tidak diwajibkan masuk mata kuliah Al-Islam
Kemuhammadiyahan. Jadi sebagian besar mahasiswa Islam senang dengan
mahasiswa Kristen di kampus dan belum pernah mengalami masalah dengan
mahasiswa Kristen tersebut.
Yang jelas, hubungan antara orang Kristen dan Islam di kampus UMM baik.
Walaupun mahasiswa Kristen menghadapi beberapa masalah, masalah ini sangat jauh
dari konflik yang terjadi di Poso, Ambon, Maluku dan sebagainya. Stereotip bahwa
orang Kristen dan Islam tidak bisa hidup berdampingan tidak benar kalau dilihat dari
UMM. Di kampus ini, setiap hari mahasiswa Kristen dan Islam belajar bersama tanpa
konflik besar.
Keterangan :
Jurnal di atas membahas tentang hasil studi kasus antara hubungan antara orang beragama kristen dan islam di Universitas Muhammadiyah Malang. Ternyata isu orang Kristen dan Islam tidak bisa hidup berdampingan tidak benar.
BAB III
3.1 Penutup
Dari ke empat jurnal tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik yang terjadi di dalam maupun di luar negeri sama-sama mengandung SARA meskipun dengan latar belakang permasalahan, kebudayaan, cara pandang dan cara penyelesaian masalah yang berbeda. Proses konflik itu akan selalu terjadi di mana pun, siapa pun dan kapan pun. Konflik merupakan realitas permanen dalam perubahan, dan perubahan adalah realitas permanen dalam kehidupan, dan dialektika adanya konflik, perubahan dan kehidupan akan bersifat permanen pula. Meskipun demikian, konflik tidak boleh dibiarkan berkembang menjadi liar dan kemudian merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, apalagi tatanan berbangsa dan bernegara yang telah menjadi konsensus nasional. Karena itu, manajemen politik yang ada seharusnya mampu mengendalikan konflik, sehingga dapat menjadinya sebagai kekuatan yang mencerahkan, bukan kekuatan yang menghancurkan.
Masyarakat majemuk seperti Indonesia, bukan hanya beranekaragam corak kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsanya secara horizontal, tetapi juga secara vertikal atau jenjang menurut kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial-politiklnya (Suparlan 1979). Tanpa disadari oleh banyak orang Indonesia, sebenarnya dalam masyarakat Indonesia terdapat golongan dominan dan minoritas, Sebagaimana yang terwujud dalam tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap mereka dalam berbagai interaksi baik interaksi secara individual maupun secara kategorikal baik pada tingkat nasional ( Penekanan dalam masyarakat majemuk, seperti Indonesia, yaitu pada keanekaragaman sukubangsa telah menghasilkan adanya potensi konflik antar-sukubangsa dan antara pemerintah dengan sesuatu masyarakat sukubangsa.
Potensi-potensi konflik tersebut memang sebuah permasalahan yang ada bersamaan dengan keberadaan coraknya yang secara sukubangsa majemuk. Sumber dari permasalahan ini terletak pada siapa atau golongan mana yang paling berhak atas sumber-sumber daya yang ada di dalam wilayah-wilayah kedaulatan dan kekuasaan sistem nasional atau pemerintah pusat.
Dampaknya adalah bahwa kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa sebagai sebuah kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar, yang muncul dalam interaksi sosial, menjadi sebuah acuan yang ampuh dalam upaya kohesi sosial dan solidaritas diantara sesama anggota sukubangsa dalam persaingan dan perebutan sumber-sumber daya yang secara adat menjadi hak mereka. Dampak lebih lanjut dari pengaktifan dan penggunaan kesukubangsaan dalam kehidupan sosial adalah ditegaskannya batas-batas kesukubangsaan oleh masyarakat sukubangsa setempat berkenaan dengan hak tersebut, yaitu siapa yang tergolong asli pribumi setempat, siapa yang pribumi setempat tetapi tidak asli, siapa yang pendatang, dan siapa yang asing. Penggolongan kesukubangsaan ini mempunyai buntut perlakuan sosial, politik, dan ekonomi oleh masyarakat sukubangsa setempat terhadap berbagai golongan tersebut diatas berupa tindakan-tindakan diskriminasi dari yang paling ringan .
Daftar Pustaka
www.fisip.ui.ac.id/antropologi/httpdocs/jurnal/2001/66/09brt66.
www.propatria.or.id/loaddown/PaperDiskusi/Policing&KamtibmasDalamRangkaPemeliharaanKedamaianPascaKonflikdiIndonesiaBAS.pdf
www.rmportal.net/library/.../land-inequality-and-conflict-in-africa.pdf
www.ofcom.org.uk/static/archive/bsc/pdfs/research/ethnic.pdf
0 komentar:
Posting Komentar